Lompat ke isi utama

Berita

Cegah Politik Identitas Pada Pemilu 2024, Bawaslu Gandeng Tokoh Agama

Cegah Politik Identitas Pada Pemilu 2024, Bawaslu Gandeng Tokoh Agama
\n

Ditulis oleh Andrian Habibi pada Jumat, 9 September 2022 - 10:00 WIB

\n\n\n\n

Jakarta, Badan Pengawas Pemilu - Anggota Bawaslu Lolly Suhenty memprediksi politik identitas akan digunakan oleh oknum politisi pada Pemilu 2024. Oleh karena itu, Bawaslu mengharapkan dukungan dari tokoh-tokoh agama dalam mencegah politik identitas. Perihal pertama yang harus disepakati kedua belah pihak adalah defenisi tentang politik identitas.

\n\n\n\n

"Pertama, kita (Bawaslu dengan Tokoh Agama), harus menyepakati defenisi tentang politik identitas dan politisasi SARA (suku, agama, ras, dan antargolongan)," katanya di Jakarta, Kamis, (8/9/2022).

\n\n\n\n

Dikatakan Lolly, defenisi politik identitas atau politisasi SARA sangat penting. Terlebih hukum pemilu tidak memberi pengertian yang jelas terkiat hal tersebut. Jika merujuk ke Pasal 280 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, tidak ada penjelasan yang detil tentang pengertian politik identitas.

\n\n\n\n

"Pasal yang mengatur hal ini hanya memuat tentang kampanye yang dilarang menghina, menghasut, mengadu domba, dan menggunakan kekerasan. Tidak ada defenisi dalam penjelasan UU Pemilu sebagai rujukan kita," terangnya.

\n\n\n\n

Selain masalah penjelasan politik identitas, lanjutnya, ada hambatan dalam pengawasan dugaan politik identitas. Karena Bawaslu mengawasi apa yang diatur dalam Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU). Lolly menjelaskan, Bawaslu harus memiliki rujukan jelas untuk mengawasi kampanye tanpa politik identitas. Terlebih masyarakat memiliki harapan yang tinggi terhadap Bawaslu untuk mencegah dan menindak dugaan pelanggaran kampanye yang menggunakan politisasai SARA.

\n\n\n\n

"Orang tidak pernah mau tahu kami dibatasi oleh regulasi, yang orang tahu tidak boleh ada politisasi SARA," jelasnya.

\n\n\n\n

Koordinator divisi pencegahan, partisipasi masyarakat, dan hubungan masyarakat Bawaslu ini mengingatkan bahaya politisasi SARA. Dari sudut pandangnya, politik identitas atau SARA merupakan kampanye hitam yang mudah dikerjakan dan digunakan dengan biaya yang murah. Oleh sebab itu, tindakan pencegahan harus bisa mengantisipasi kemungkinan penggunaan politik identitas/SARA selama tahapan Pemilu 2024.

\n\n\n\n

"Politisasi SARA ini, menjadi isu yang sangat mudah digunakan, mudah untuk menggerakkan, murah biayanya, dan cepat responnya dalam situasi kita hari ini," terang Srikandi Pemilu asal Jawa Barat ini.

\n\n\n\n

Sebagai upaya pencegahan, Bawaslu menyelenggarakan Diskusi Kelompok Terpumpun (DKT) Penyusunan Agenda
Pencegahan Politisasi Sara dan Hoax Pada Pemilu Tahun 2024 bersama perwakilan Nahdhatul Ulama, Muhammadiyah, Konferensi Waligereja Indonesia, Parisada Hindu Dharma Indonesia, dan Bawaslu Provinsi DKI Jakarta, Bawaslu Provinsi Banten, serta Bawaslu Provinsi Jawa Barat.

\n\n\n\n

Perlibatan tokoh agama sebelum tahapan kampanye bertujuan membentengi ummat. Selain itu, keberadaan tokoh agama selama Pemilu dapat menenangkan situasi krisis. Tokoh agama juga, lanjutnya, bisa memberi penjelasan apabila terjadi disinformasi yang berhubungan dengan politisasi SARA.

\n\n\n\n

"Organisasi keagamaan menjadi garda terdepan untuk memastikan seluruh proses informasi yang diterima umatnya," tuturnya.

\n\n\n\n

Lolly berharap organisasi keagamaan bisa bergabung dalam komunitas tersebut. Sehingga komunitas digital kepemiluan dan organisasi keagamaan bisa bekerja secara bersama-sama untuk mengantisipasi politisasi SARA berbasis penyebaran informasi di media digital.

\n\n\n\n

"Harapannya, informasi tidak hanya disampaikan melalui tatap muka. Tetapi, informasi yang benar tentang kepemiluan harus menyebar diruang digital. Targetnya, informasi yang benar menutupi disinformasi atau berita bohong. Sehingga Pemilu 2024 tidak dikuasi oleh politik SARA" pungkasnya.

\n\n\n\n\n\n\n\n

Editor : Zulfadli

\n"